3. Berjuang di Kalangan Pers
![]() |
Image by Pexels from Pixabay |
Setelah keluar dari STOVIA Ki Hadjar Dewantara tidak melanjutkan kuliah lagi. Mulai tahun 1911 beliau aktif berjuang di dunia jurnalistik. Beliau menulis dan membantu beberapa surat kabar seperti:
- Sedya Tama, berbahasa Jawa di Yogyakarta
- Midden-Java, berbahasa Belanda di Yogyakarta
- De Express, berbahasa belanda di Bandung
- Kaum Muda, berbahasa Melayu di Bandung
- OeToesan Hindia, berbahasa Melayu di Surabaya
- Tjahaja Timoer, berbahasa Melayu di Malang
Melalui surat kabar itu Ki Hadjar Dewantara berkesempatan mengeluarkan isi hatinya untuk membela rakyat yang terjajah. Beliau sempat menanamkan prinsip pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Sejak 1912 Ki Hadjar Dewantara bersama EFE. Douwes Dekker mengasuh dan mengelola harian De Express di Bandung. Dalam rangka memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, yang akan dirayakan secara besar-besaran di Indonesia dengan memungut biaya dari rakyat, Ki Hadjar Dewantara menulis di harian De Express tersebut dengan judul “Als i keens Nederlander was” (Andaikata aku seorang Belanda).
Gara-gara tulisan itu maka Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan dibuang ke Negeri Belanda dari tahun 1913-1919 dengan biaya sendiri.
Sebagai pengantin baru Ki Hadjar Dewantara bersama isteri (R.A. Soetartinah) dan Dr. Cipto Mangunkusumo serta Dr. Douwes Dekker menjalani pengasingan di Nederland. Di Teluk Benggala (di atas kapal Bulow) Ki Hadjar Dewantara mengirim surat kepada teman-teman seperjuangan di Indonesia dengan seruan “Usahakan dengan sekuat tenaga jangan sampai perayaan penjajah yang meludahi mukamu itu terlaksana”. Selama dalam pengasingan di Nederland KI Hadjar Dewantara harus berjuang untuk menafkahi hidup bersama isterinya dan tetap berjuang membela rakyat Indonesia. Beliau berkeliling memberi ceramah tentang aspirasi rakyat Indonesia yang sesungguhnya membantu mingguan De Indier dan menjadi redaktur majalah Hindia Poetra.
Sekembali Ki Hadjar Dewantara dari pengasingan ke tanah air, beliau kembali memimpin majalah De Beweging, Persatuan Hindia, De Express dan Penggugah. Pada tahun 1920 Ki Hadjar Dewantara terjebak ranjau pers dan dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan di Semarang kemudian dipindahkan ke Pekalongan. Selama memimpin Tamansiswa Ki Hadjar Dewantara selalu memimpin majalah Wasita dan Pusara.
Karena jasa-jasanya di bidang pers pada tanggal 28 April 1059 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Ketua Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) secara Anumerta.
0 Komentar