Syarat
Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan
hambatan/perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sbb:
- Pemungutan Pajak harus Adil (Syarat Keadilan). Sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan, undang – undang maupun pelaksanaan pemungutan pajak harus adil. Adil dalam perundang – undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing – masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya, yaitu dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada Penagadilan Pajak.
- Pemungutaan Pajak Harus Berdasarkan Undang – Undang (Syarat Yuridis). Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
- Tidak Menganggu Perekonomian (Syarat Ekonomis). Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
- Pemungutan Pajak Harus Efisien (Syarat Finansial). Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus lebih rendah dari hasil pemungutannya.
- Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana. Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban peRp.ajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang – undang peRp.ajakan yang baru. Contoh: Bea Meterai disederhanakan dari 167 macam tariff menjadi 2 macam tariff, tariff PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tariff, yaitu 10 %, Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).
Teori - Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak
Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak? Terdapat beberapa teori yang menjelaskan/memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori - teori tersebut adalah:
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak – hak rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing – masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing – masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan, yaitu:
a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan/kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
b. Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. Contoh: Tn. A dengan status menikah memiliki 3 orang anak, Tn. B, bujangan. Tn. A dan Tn. B memiliki penghasilan yang sama Rp. 100.000.000.
Secara objektif, PPh untuk Tn. A sama besarnya dengan Tn. B karena mempunyai penghasilan yang sama besarnya. Sedangkan secara subjektif, PPh untuk Tn. A lebih kecil daripada Tn. B karena kebutuhan materiil yang harus dipenuhi Tn. A lebih besar.
Gambar: accurate |
4. Teori Bakti
Dasar pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro,S.H., hukum pajak
mempunyai kedudukan diantara hukum - hukum sebagai berikut:
- Hukum perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
- Hukum publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat diperinci sebagai berikut:
- Hukum Tata Negara
- Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif)
- Hukum Pajak
- Hukum Pidana
Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil
Hukum Pajak mengatur hubungan antara Pemerintah (Fiscus)
selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada 2 macam Hukum
pajak, yaitu
- Hukum Pajak Materiil, memuat norma – norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, antara lain peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tariff pajak), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara Pemerintah dengan Wajib Pajak.
- Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat, antara lain:
- Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
- Hak - hak Fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
- Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak - hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Tata Cara Pemungutan Pajak
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel:
a. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang
nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun, yaitu
setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai
kelebihan/kebaikan dan kekurangan. Kebaikannya adalah pajak yang dikenakan
lebih realistis, sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada
akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur
undang – undang. Misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya
pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah
pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir
tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada
keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan
stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada
pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih
kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2. Asas Pemungutan Pajak
- Asas Domisili (asas Tempat Tinggal). Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
- Asas Sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
- Asas Kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
3. Sistem Pemungutan Pajak
A. Official Assessment System
Adalah suatu system pemungutan yang memberi wewenang kepada
Pemerintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak. Ciri - cirinya:
- Wewenang untuk menetukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus.
- Wajib Pajak bersifat pasif.
- Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh Fiskus.
B. Self Assessment System
Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri -
cirinya:
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
- Wajib Pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
- Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
System yang kedua ini awalnya ada 2 yaitu Semi Self
Assessment System dan Full Self Assessment System. Yang Full Self assessment
System sekarang menjadi Self Assessment System, sedangkan Semi Self Assessment
System adalah system pemungutan pajak dimana pada awal tahun yang melakukan
kewajiban peRp.ajakan mulai menghitung, menyetor dilakukan oleh Wajib Pajak dan pada akhir
tahun yang menentukan besarnya pajak terutang adalah Fiskus.
C. Withholding System
Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan Fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk memotong/memungut pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri - cirinya: Wewenang
memotong/memungut pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, yaitu selain
Fiskus dan Wajib Pajak.
Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
- Ajaran Formil. Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh Fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system.
- Ajaran Materiil. Utang pajak timbul karena berlakunya undang – undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusnya uatang pajak dapat disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu pembayaran, kompensasi, daluwarsa, pembebasan dan penghapusan.
Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan
menjadi:
A. Perlawanan Pasif.
Masyarakat enggan (pasif) membayar
pajak yang dapat disebabkan oleh:
- Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
- System peRp.ajakan yang (mungkin) sulit dipahami oleh masyarakat.
- System control tidk dapat dilakukan/dilaksanakan dengan baik.
B. Perlawanan Aktif.
Perlawanan aktif meliputi semua usaha
dan perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain:
- Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang - undang.
- Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang - undang (menggelapkan pajak).
0 Komentar